Sepucuk surat ku layangkan untukmu,
Ada debu yang kutitipkan di sana.
Bersama angin yang mengharu-biru,
Terhatur salam tanpa suara.
Kutiupkan rindu pada kertas,
Sebuah rasa penuh makna.
Di mana ada yang membuncah tanpa batas,
Entah apa, mungkin itu cinta.
Cinta yang kurasa, mungkin hanya Ia,
Yang tahu rasa rindu ini kutujukan.
Tentulah hanya Ia, Sang Mahapencipta,
Bagi hati yang selalu ingin menemukan.
Lalu angin, dan ia pun bersaksi,
Di hadapan debu-debu yang melayang.
Terbang, mengitari dan menari-nari,
Mengempaskan seluruh rasa cinta, rasa rindu ini, Sayang.
Apakah sama dengan yang kau rasakan,
Sebuah rasa yang menjarah nalar.
Entah bagaimana, baiknya kulupakan,
Sebelum candu kian mengakar.
Sajak ini dikerjakan saat BajakOWOP, 2 April 2016.
oleh:
Helmi Yani,
Annisa Fitrianda Putri,
Kenti Lestari,
Salma Salsabila,
Apriastiana Dian,
Annisa Fauzia
hempasan kata
sebelum kata itu terhempas terlalu jauh
Sabtu, 02 April 2016
Kamis, 03 Maret 2016
(Tidak) Lagi
Dan lagi, dan lagi, dan.... lagi. Sudahlah. Aku lelah, aku
lemah. Terbuang setelah berjuang.
Terkadang aku tidak mengerti, Tuhan... mengapa? Mengapa ada
yang bisa membenci sebegitunya? Mengapa ia tidak lelah? Mengapa kamu tidak
lelah, Hati? Aku tidak mengerti. Sungguh... rasanya ingin sekali mendapatkan
jawaban. Seburuk itukah aku, Tuhan? Sehina itukah aku?
Kian malam, dadaku kian sesak menahannya. Yang dulu ada kini
sudah hilang. Tidak bisakah ia menyudahinya saja? Tidak bisakah? Separah itukah
yang kutorehkan pada hatinya, Tuhan? Jika iya, apakah artinya ia memaafkanku
pada malam itu? Apakah artinya, Tuhan?
Tidak bisakah hal ini selesai begitu saja? Aku lelah. Aku lemah....
Terbuang...
Setelah berjuang....
Dan lagi... ohhh tidak lagi, Tuhan. Cukup. Cukup. Tolong bilang
cukup, Tuhan, dan cukup. Aku,
.......
Lemah.....
Lelah.....
Rabu, 02 Maret 2016
Sebuah Kelak
Aku ingin kelak, Kasih...
Sebuah esok yang tersusun dari kisah,
Tentang kita yang masih,
Meski akan sangat butuh sebuah canggih.
Mungkin, kelak akan meramu,
Aku dan kamu,
Dalam sebuah bait abu,
Yang semu.
Padahal,
Aku hanya ingin sederhana.
Tidak perlu mahal,
Barangkali bersamamu hanya mengelana.
Cukup.
Semoga cukup.
Aku.
Kamu.
Dari yang terpejam demi sebuah
kelak,
Kepada yang kejam menolak pada benak.
Sabtu, 09 Januari 2016
Berpagut
Are you paying attention? - Alan Turing (The Imitation
Game, 2014)
Day by day.
The tears stay dry.
The feelings stay stray.
And we, are stay away from ray.
The feelings stay stray.
And we, are stay away from ray.
Ada waktu di mana debar itu menyenangkan.
Ada waktu di mana gelar itu menyejukkan.
Ada hari di mana tikar itu menghangatkan.
Ada hari di mana ingar itu terasa bersahabat.
Ada waktu di mana gelar itu menyejukkan.
Ada hari di mana tikar itu menghangatkan.
Ada hari di mana ingar itu terasa bersahabat.
Namun ia menguap.
Hatiku terjerembap.
Aku memandang.
Kamu menendang.
Hatiku terjerembap.
Aku memandang.
Kamu menendang.
Perlahan aku merasa rapuh.
Perlahan hatiku mulai ricuh.
Perlahan, tapi pasti, kita mulai tergopoh.
Per-ruas jari, kita mulai berubah.
Perlahan hatiku mulai ricuh.
Perlahan, tapi pasti, kita mulai tergopoh.
Per-ruas jari, kita mulai berubah.
Are you paying attention?
Day bye day.
Memories stay fray.
The past still neigh.
Now, I'm starting to splay...
Memories stay fray.
The past still neigh.
Now, I'm starting to splay...
Aku lelah selalu merasa yang butuh.
Aku gerah selalu merasa yang bodoh.
Aku ingin kita bertemu.
Meski kini segalanya mulai terasa semu.
Aku gerah selalu merasa yang bodoh.
Aku ingin kita bertemu.
Meski kini segalanya mulai terasa semu.
Adakah kamu memperhatikan?
The clock is ticking.
The block is sticking.
Are you bricking?
Are you paying attention?
The block is sticking.
Are you bricking?
Are you paying attention?
Aku dan mereka masih menantimu.
Aku dan mereka masih merasa takut.
Aku dan mereka masih menantimu.
Untuk berpagut, bersama. Kemarilah, Kasih...
Aku dan mereka masih merasa takut.
Aku dan mereka masih menantimu.
Untuk berpagut, bersama. Kemarilah, Kasih...
-dari aku yang mendesak.
-kepadamu yang mungkin mulai merasa sesak.
-kepadamu yang mungkin mulai merasa sesak.
Senin, 14 Desember 2015
Belajar Menyerah
Mulia, apa dan bagaimana itu menyerah?
Jam dinding
itu berdentang lagi. Kali ini dentangnya hanya sekali. Pukul 12 tengah malam.
Tepat. Dan benakku masih bekerja keras pada titik bifurkasi itu, antara terus
merajut khawatir akan ia, atau menyerah saja tidur dengan sebongkah batu es di
dalam dada.
Aku masih
mengeja hari-hari itu. Sesekali segalanya tampak manis, sesekali esok terasa
kian mustahil. Napasku terhela keras. Lelah sekali, Mulia...
Aku lelah
terus mengeja yang telah. Mungkin aku tampak kokoh, namun rasanya aku renta dan
tergopoh. Bisakah sekali saja, segalanya terasa pasti tanpa eja. Walaupun,
rasanya betapa pengecut diri ini jika selalu berharap yang pasti padahal
ketidakpastian ialah sebaik-baiknya pecut.
Mulia, apa dan bagaimana itu menyerah?
Entah telah
dikutuk siapa atau apa, namun aku belum pernah merasa kepedulian menjadi
sesakit ini. Entah karena zaman atau karena aku saja, namun rasanya malu sekali
menjadi yang paling peduli, lagi paling cerewet menanyakan ini dan itu.
Belum,
Mulia, aku belum pernah merasakan mencoba meraih seberat ini.
Dan aku mulai
mendamba hidup dalam ketidakpedulian. Karena, percayalah, kepedulian ini mulai terasa begitu menyesakkan.
Jadi, Mulia, tolong ajari aku untuk
menyerah? Karena rasa lelah ini mulai melelahkan, Mulia......
Sabtu, 26 September 2015
Kita yang Tidak
Mungkin
aku hanya perempuan entah siapa yang buatmu rela pergi ke minimarket untuk beli
pembalut.
Mungkin aku hanya perempuan entah siapa yang buatmu rela berbohong bahwa rumah kita searah padahal rumahku di Timur, rumahmu di Barat.
Mungkin aku hanya perempuan entah siapa yang buatmu rela bangun pagi demi menerjang macet Jakarta yang aduhai.
Mungkin, Kasih, aku hanya perempuan entah siapa yang rela buatmu nyalakan keran di pagi buta agar tampak tampan.
Mungkin aku hanya perempuan entah siapa yang buatmu rela berbohong bahwa rumah kita searah padahal rumahku di Timur, rumahmu di Barat.
Mungkin aku hanya perempuan entah siapa yang buatmu rela bangun pagi demi menerjang macet Jakarta yang aduhai.
Mungkin, Kasih, aku hanya perempuan entah siapa yang rela buatmu nyalakan keran di pagi buta agar tampak tampan.
Ini
klasik, Kasih.
Kisah yang didamba siapa saja.
Kisah yang dikhayalkan pada jeda di setiap hari.
Kisah yang diindahkan sebelum otak belum betul-betul lelah lalu lelap.
Kisah yang didamba siapa saja.
Kisah yang dikhayalkan pada jeda di setiap hari.
Kisah yang diindahkan sebelum otak belum betul-betul lelah lalu lelap.
Kau
tak akan pernah paham betapa aku ingin.
Kau tak akan pernah padam dari berapa yang kuhitung sampai malam mendingin.
Kasih, kau tidak akan pernah paham.
Bahwa sampai kapanpun, kau tak akan pernah padam.
Kau tak akan pernah padam dari berapa yang kuhitung sampai malam mendingin.
Kasih, kau tidak akan pernah paham.
Bahwa sampai kapanpun, kau tak akan pernah padam.
Meski
kau rela carikan pembalut sampai ke Kutub,
Namun aku tak berhasil buatmu rela cairkan hati sampai Kutub tutup.
Meski kau rela searahkan rumah kita,
Namun aku tak berhasil buatmu searahkan hati kita.
Namun aku tak berhasil buatmu rela cairkan hati sampai Kutub tutup.
Meski kau rela searahkan rumah kita,
Namun aku tak berhasil buatmu searahkan hati kita.
Mungkin
aku memang perempuan entah siapa dari mana yang berhasil buatmu berjuang begini
dan begitu di padatnya lalu lintas yang menyebalkan.
Namun, agaknya, Kasih, aku tak berhasil buatmu berjuang terlepas dari Rosariomu.
Namun, agaknya, Kasih, aku tak berhasil buatmu berjuang terlepas dari Rosariomu.
Kepada,
dada yang berkalung Rosario.
Dari, dada yang berkalung kerudung.
Dari, dada yang berkalung kerudung.
Senin, 14 September 2015
Akhir Pekan
Ingar-bingar dunia luar
tak turut datang.
Sore berganti malam tanpa perayaan kenangan.
Tak tampak satu dua bintang.
Namun lampu kota menembus menjadi gemintang.
Sore berganti malam tanpa perayaan kenangan.
Tak tampak satu dua bintang.
Namun lampu kota menembus menjadi gemintang.
Kasih, seandainya ini
malam kita.
Seandainya ini malam entah kapan.
Seandainya ini malam... malam yang sedang kita rajut...
Seandainya... tak perlu kata yang seadanya.
Seandainya ini malam entah kapan.
Seandainya ini malam... malam yang sedang kita rajut...
Seandainya... tak perlu kata yang seadanya.
Adamu, adaku, seakan
cukup.
Meski barangkali, waktu segera kuncup.
Adanya kita, sepertinya ilusi.
Apalagi jika kata yang hadir dari delusi.
Meski barangkali, waktu segera kuncup.
Adanya kita, sepertinya ilusi.
Apalagi jika kata yang hadir dari delusi.
Selamat berakhir pekan,
Kasih
Semoga pekan ini kita tak berakhir.
Karena, toh kita tak pernah memulai.
Sampai sajak-sajak ini memuai.
Kepada, yang berada entah di mana.
Dari, yang sedang duduk di pinggir kolam renang.
Semoga pekan ini kita tak berakhir.
Karena, toh kita tak pernah memulai.
Sampai sajak-sajak ini memuai.
Kepada, yang berada entah di mana.
Dari, yang sedang duduk di pinggir kolam renang.
Langganan:
Postingan (Atom)